Senin, 08 November 2021

Terima Kasih Derrida....


Muhammad Rizkita-19105010041

Jacques Derrida menjadi salah satu dari sedikit sekali filsuf terpenting  ke-20 bersama dengan Ludwig Wittgenstein dan Martin Heidegger. Maha penting tulisannya, sehingga tidak ada pemikir yang lebih berdampak daripada mereka bertiga 100 tahun belakangan. Pemikiran Derrida yang begitu luas mencakup banyak disiplin ilmu berbeda. Para filsuf, teolog, kritikus, sastrawan, seniman, penulis, sarjana hukum, bahkan arsitek tak luput dari pengaruh Derrida. Ia membawa  kebangkitan luar biasa pada rumpun keilmuan sosial-humaniora selama empat dekade belakangan. Demikian luas pemikirannya, mengakibatkan kesalahpahaman terhadap pemikirannya tak kalah dalam pula.

Bagi mereka yang kecanduan menuntut ilmu dengan cara instan dan tidak mendalam, yakni dengan comot sana sini, pemikiran Derrida akan tampak sangat tidak jelas. Hal itu wajar. Karena karya Derrida sangat kompleks dan meringkas pemikiran Derrida adalah upaya bunuh diri. Tulisannya begitu tidak jelas. Tetapi, di dalam ketidakjelasan itu Derrida seakan-akan menyembunyikan kode-kode yang minta dipecahkan. Seperti anggur merah, pemikiran Derrida menua dengan baik lalu sedikit-demi-sedikit kita dan dunia kita sendiri.

Apa yang membuat karya Derrida begitu istimewa ialah caranya membawa begitu banyak wawasan para filsuf, penulis, seniman, pun teolog dalam menjawab permasalahan yang pada zaman kontemporer ini kita hadapi. Sebagian besar teksnya menuntut kita untuk melakukan interpretasi cermat terhadap wacana-wacana barat. Derrida membaca karya-karya besar yang umum dengan cara tak biasa dan cenderung melawan arus. Derrida mengungkapkan makna tersembunyi yang menciptakan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru yang mengaktifkan imajinasi kita.

Nama Derrida paling erat kaitannya dengan istilah ‘dekontruksi’ yang sangat sering dikutip namun begitu jarang dipahami. Awalnya dekontruksi sering digunakan sebagai upaya untuk menafsirkan karya tulis dan visual yang ‘canggih’, sehingga dekontruksi menjadi bahasa sehari-hari kita. Jika saja dekontruksi dimaknai lewat cara yang bertanggung jawab, dekontruksi sangatlah berbeda dengan upaya pemberedelan integrasi makna (pengaburan makna), tetapi membawa kita kepada pemaknaan yang benar-benar baru. Dalam proses menciptakan yang baru, implikasinya kita meninggalkan yang lama.

Bagi para pengkritiknya, Derrida tampak sebagai nihilis yang merusak fondasi masyarakat dan budaya barat. Dengan bersikeras bahwa kebenaran dan nilai absolut tidak diketahui dengan pasti, para pengkritiknya berpendapat ia dapat melemahkan penilaian kita tentang moralitas. Skeptisisme dan relativisme yang ditawarkan Derrida memang sekilas sangat berbahaya karena dapat membawa kita bertindak semena-mena dan lari dari tanggung jawab.

Kritik macam ini sangat penting dan membutuhkan respon yang cermat. Seperti Kant, Kiekergaard, dan Nietzsche, Derrida memang berpendapat bahwa kebenaran yang transparan dan absolutivitas nilai luput dari jangkauan kita. Namun, ini tidak berarti bahwa kita harus meninggalkan kategori kognitif, dan prinsip moralitas yang tanpanya kita tidak mungkin dapat hidup; kesetaraan, keadilan, kemuraan hati, dan persahabatan ialah nilai-nilai yang perlu kita jaga. Sebaliknya, kita juga harus sadar bahwa kita perlu untuk tidak terlena dengan kestabilan dan struktur yang mapan. Hal itu perlu, karena peradaban kita seringkali mengalami kemunduran berabad-abad yang sangat susah dibongkar akibat sudah begitu mapan, dan kesemua kita sudah kadrung nyaman untuk mencari pemaknaan baru. Nah, Derrida menyadarkan kita bahwa betapa pun stabil kehidupan ini, manusia harus senantiasa menengok keluar dan mengamati pemaknaan alternatif.

Minggu, 07 November 2021

Konsep Hermeneutika Gadamer : Berprasangka Itu Penting Termasuk Prasangka Buruk

Membahas tentang hermeneutika, tentu sekaligus kita  membahas tentang dewa Hermes. Seorang makhluk bergelar “dewa “ pada sebelum penyebutan namanya, sudah pasti beliau bukan manusia biasa. Ya, sebutan tersebut hanya diperuntukkan kepada seorang  yang memiliki kuasa tertentu dan tingkatan sendiri bagi orang-orang Yunani kuno.

Tugas para dewa pun beragam, seperti Hermes ia bertugas sebagai penyampai pesan ilahi kepada manusia. Adanya tingkatan yang berbeda antara manusia dan dewa sudah menjelaskan bahwa terjadi juga perbedaan komunikasi diantara keduanya.

Di sinilah pesan Hermes dianggap sakral dan penting. Manusia tak  mungkin bisa mengetahui pesan-pesan dari dewa  jika tak ada yang menafsirkan. Dengan demikian, sebelum sampai kepada manusia Hermes harus berkorban dengan pikirannya untuk mengartikan pesan-pesan tersebut sehingga bisa diterima oleh manusia.

Saya berani mengambil sebuah pernyataan bahwa tak ada utusan yang tak ahli. Juru bicara pejabat yang sering kita dengar pada acara TV ONE itu juga merupakan seorang ahli, tentu ahli komunikasi. Meski kita melihat substansi bicaranya yang kadang cenderung memaksakan, ngotot dan tak tentu arah. Tapi justru itu sebuah keahlian yang sulit dimiliki oleh orang lain.

Sebab tak banyak dari manuisa yang mau memperlihatkan hal-hal demikian secara umum. Saya tak mengerti apa teori dalam komunikasi mengajarkan hal tersebut atau tidak, yang jelas menurut saya sifat yang dimiliki oleh juru bicara tadi juga merupakan sebuah keahlian.

Begitupun dengan Hermes, dipilih sebagai utusan sudah pasti piawai dalam menafsirkan sesuatu. Itulah sebabnya mengapa kita sebut dengan hermeneutika, asal katanya berasal dari dewa Hermes. Pekerjaan dewa Hermes pun diadopsi menjadi pekerjaan hermeneutika.

Singaktnya hermeneutika merupakan salah satu teori filsafat yang mencoba mengartikan, menafsirkan, menginterpretasi sebuah makna dalam teks maupun lisan sehingga membuat kita paham dan mengerti untuk dikonsumsi.

Banyak jalan menuju Roma, sebuah pepatah yang mengartikan bahwa tak hanya satu jalan dalam mencapai sesuatu. Hermeneutika juga demikian, ada banyak cara yang disampaikan oleh filsuf-filsuf terdahulu dalam memahami. Memahami apapun, teks-teks kuno, kitab-kitab suci agama, perkataan tokoh agama, percakapan dengan teman dan lain sebagainya. mustahil kita dapat berkomunikasi jika tak memahami satu sama lain.

Salah satu cara yang digunakan oleh Hans-Georg Gadamer seorang filsuf asal Jerman adalah menggunakan prasangka. Menurutnya tak ada sesuatu maknapun yang dapat ditangkap tanpa prasangka. Bahkan prasangka merupakan unsur yang wajar jika digunakan sebagai instrumen pemahaman. Sebab cara tersebut secara tidak langsung akan membawa kita untuk berfikir. Jika diruntut maka tak ada prasangka tanpa berfikir.

Penafsiran teks yang cenderung objektif dan ilmiah karena pengetahuan yang kian berkembang, membuat manusia sering terbelenggu pada hasil penelitian. Sehingga, ikatan-ikatan itu tak lagi lepas dalam pikiran. Manusia tak lagi bebas mengeluarkan pendapat pribadi tentang sebuah penemuan. Karena jika hal tersebut terjadi maka sesuatu yang kita lontarkan akan dicap sesuatu tanpa dasar oleh para akademisi.

Saya perlu menjelaskan bahwa tulisan ini tidak sepenuhnya menjelaskan bagaimana hermeneutika Gadamer. Tulisan ini tidak akan sampai pada kritiknya terhadap filsuf lain dan dan metode-metode ilmiah yang mengesampingkan prasangka. Saya hanya mencoba mencampuradukkan pengalam pribadi atau cerita-cerita yang saya terima terhadap konsep yang dibawa oleh tokoh ini.

Terlahir sebagai manusia yang satu orangnya memiliki satu otak, tentu cara menggunakannya berbeda dari setiap individu. Dengan begitu pemahaman yang ini merupakan pemahaman yang bersifat sangat subyektif. Tak heran jika pada suatu teks kita menemukan tafsiran yang beragam.

Bak bunga dalam kebun, akan terlihat lebih menarik jika warnanya tak cuma satu. Itulah alasan mengapa Tuhan menciptakan makhluk bukan hanya satu jenis dan mengapa dalam tafsiran seperti ini kita akan melihat berbagai banyak perbedaan pandangan, diskusi, debat dan lain sebagainya.

Guru saya pernah bilang bahwa kita seharusnya terus berprasangka baik, toh jika kemudian prasangka kita salah maka kita tak akan menerima kerugian sama sekali. Pesan ini merupakan pesan yang bagus, mulia sekaligus mendidik. Tentu saja, sebab itu pesan seorang guru kepada murid. Namun menurut saya pesan semacam ini tak selama bisa digunakan dalam hermeneutika.

Terkadang kita berbeda prasangka saat melihat teks-teks tertentu. Contoh kontektualisasi Perkataan Nietzsche yang bagai bom molotov itu “Tuhan telah mati” merupakan bagian dari penafsirannya terhadap al-kitab yang berkata “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan sorga”.

Nietzsche mengartikan bahwa bagi mereka yang ingin menjadi hamba sempurna secara moralitas tak perlu menjadi kaya sehingga manusia cenderung malas dan tidak mau bersaing. Perkataan yang menggelegar itu keluar dari mulut Nietzsche merupakan prasangka buruknya kepada Tuhan, Tuhan menurunkan sebuah ayat yang membuat manusia tak menjadi kreatif.

Otak yang dititipkan tak begitu berguna. Jadi terjawab mengapa Nietzsche tercatat sebagai salah satu manusia pembunuh Tuhan. Jika ditarik dengan perkataan guru saya tadi sudah pasti Nietzsche adalah murid yang pembangkang.

Contoh lain yang saya temukan tentang pembangkangan terhadap guru saya ini adalah cerita seroang teman perempuan yang kehabisan bensin di tengah jalan. Entah berapa tetes keringat yang keluar saat mendorong motor, dirinya ditegur oleh seorang laki-laki.

Sebagai perempuan berusia belum genap 20 tahun tentu merasa curiga dan takut jika orang itu akan berbuat sesuatu. Otaknya pun berpikiran macam-macam sehingga membuatnya enggan untuk menoleh dan menerima sapaan.

Apa yang terjadi. Pada akhirnya laki-laki yang menegur tadi menawarkan bantuan untuk mengantarkan teman saya ke pom bensin terdekat. wah sebuah prasangka yang salah memang. Namun menurut saya dia tidak akan rugi jika berprasangka demikian. Sebab laki-laki itu belum tau bahwa teman saya lagi memikirkan apa dan selanjutnya setidaknya itu bagian tahap awal untuk menjaga dirinya sendiri.

Mungkin bisa jadi Gadamer tidak memikirkan hal-hal semacam ini. Karena sependek sepengetahuan saya prasangka yang ia maksud hanya tertuju pada ilmu pengetahuan. Penafsiran teks-teks lampau ataupun kalam ilahi.

Dan juga pembahasan Gadamer sebagai seroang filsuf tentu lebih dalam dari hanya sekedar intrepetasi. Sementara kejadian secara spontan juga bagian dari hermeneutika, teman saya harus menginterpretasikan apa maksud laki-laki itu menegur dirinya. Jadi wajar jika ia mewanti-wanti pada kejadian yang tidak diinginkan.

Peran hermeneutika memang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Seberapapun pembaca menolak, saya akan tetap mengatakan bahwa hermeneutik merupakan hal yang tak akan pernah bisa dihindari. Karena isinya merupakan refleksi yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan.

Setiap manusia sudah tentu memiliki pengalaman dan manusia juga perlu berkomunikasi dan itu semua memerlukan hermeneutika.

Penulis : Muhammad Rizki Yusrial, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Terima Kasih Derrida....

Muhammad Rizkita-19105010041 Jacques Derrida menjadi salah satu dari sedikit sekali filsuf terpenting   ke-20 bersama dengan Ludwig Wittgens...