Muhammad Rizkita-19105010041
Jacques Derrida
menjadi salah satu dari sedikit sekali filsuf terpenting ke-20 bersama dengan Ludwig Wittgenstein dan
Martin Heidegger. Maha penting tulisannya, sehingga tidak ada pemikir yang
lebih berdampak daripada mereka bertiga 100 tahun belakangan. Pemikiran Derrida
yang begitu luas mencakup banyak disiplin ilmu berbeda. Para filsuf, teolog,
kritikus, sastrawan, seniman, penulis, sarjana hukum, bahkan arsitek tak luput dari
pengaruh Derrida. Ia membawa kebangkitan
luar biasa pada rumpun keilmuan sosial-humaniora selama empat dekade
belakangan. Demikian luas pemikirannya, mengakibatkan kesalahpahaman terhadap
pemikirannya tak kalah dalam pula.
Bagi mereka yang
kecanduan menuntut ilmu dengan cara instan dan tidak mendalam, yakni dengan
comot sana sini, pemikiran Derrida akan tampak sangat tidak jelas. Hal itu
wajar. Karena karya Derrida sangat kompleks dan meringkas pemikiran Derrida
adalah upaya bunuh diri. Tulisannya begitu tidak jelas. Tetapi, di dalam
ketidakjelasan itu Derrida seakan-akan menyembunyikan kode-kode yang minta
dipecahkan. Seperti anggur merah, pemikiran Derrida menua dengan baik lalu
sedikit-demi-sedikit kita dan dunia kita sendiri.
Apa yang membuat
karya Derrida begitu istimewa ialah caranya membawa begitu banyak wawasan para
filsuf, penulis, seniman, pun teolog dalam menjawab permasalahan yang pada
zaman kontemporer ini kita hadapi. Sebagian besar teksnya menuntut kita untuk
melakukan interpretasi cermat terhadap wacana-wacana barat. Derrida membaca
karya-karya besar yang umum dengan cara tak biasa dan cenderung melawan arus.
Derrida mengungkapkan makna tersembunyi yang menciptakan
kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru yang mengaktifkan imajinasi kita.
Nama Derrida
paling erat kaitannya dengan istilah ‘dekontruksi’ yang sangat sering dikutip
namun begitu jarang dipahami. Awalnya dekontruksi sering digunakan sebagai
upaya untuk menafsirkan karya tulis dan visual yang ‘canggih’, sehingga
dekontruksi menjadi bahasa sehari-hari kita. Jika saja dekontruksi dimaknai
lewat cara yang bertanggung jawab, dekontruksi sangatlah berbeda dengan upaya
pemberedelan integrasi makna (pengaburan makna), tetapi membawa kita kepada
pemaknaan yang benar-benar baru. Dalam proses menciptakan yang baru,
implikasinya kita meninggalkan yang lama.
Bagi para
pengkritiknya, Derrida tampak sebagai nihilis yang merusak fondasi masyarakat
dan budaya barat. Dengan bersikeras bahwa kebenaran dan nilai absolut tidak
diketahui dengan pasti, para pengkritiknya berpendapat ia dapat melemahkan
penilaian kita tentang moralitas. Skeptisisme dan relativisme yang ditawarkan
Derrida memang sekilas sangat berbahaya karena dapat membawa kita bertindak
semena-mena dan lari dari tanggung jawab.
Kritik macam ini
sangat penting dan membutuhkan respon yang cermat. Seperti Kant, Kiekergaard,
dan Nietzsche, Derrida memang berpendapat bahwa kebenaran yang transparan dan
absolutivitas nilai luput dari jangkauan kita. Namun, ini tidak berarti bahwa
kita harus meninggalkan kategori kognitif, dan prinsip moralitas yang tanpanya
kita tidak mungkin dapat hidup; kesetaraan, keadilan, kemuraan hati, dan
persahabatan ialah nilai-nilai yang perlu kita jaga. Sebaliknya, kita juga
harus sadar bahwa kita perlu untuk tidak terlena dengan kestabilan dan struktur
yang mapan. Hal itu perlu, karena peradaban kita seringkali mengalami
kemunduran berabad-abad yang sangat susah dibongkar akibat sudah begitu mapan,
dan kesemua kita sudah kadrung nyaman untuk mencari pemaknaan baru. Nah,
Derrida menyadarkan kita bahwa betapa pun stabil kehidupan ini, manusia harus
senantiasa menengok keluar dan mengamati pemaknaan alternatif.